Pacu Jalur The Legend of Culture Kuantan Singingi

prima12 September 20233min00
FIX PACU JALUR - frame at 0m1s

Pacu Jalur adalah sebuah warisan budaya yang telah diteruskan dari generasi ke generasi selama lebih dari seratus tahun oleh nenek moyang masyarakat Kuansing. Pada abad ke-17, jalur hanya berfungsi sebagai alat transportasi bagi warga yang tinggal di sepanjang Sungai Kuantan.

Seiring berjalannya waktu, jalur-jalur ini mengalami perkembangan. Beberapa di antaranya dihiasi dengan ukiran khas yang indah, lengkap dengan payu, selendang, tiang tengah (gulang-gulang), dan lambai-lambai (tempat bagi juru mudi berdiri). Perkembangan ini akhirnya menjadi cikal bakal

Festival Pacu Jalur, kompetisi cepat antar jalur yang kini dikenal luas. Awalnya, Pacu Jalur digelar untuk merayakan hari besar agama Islam, seperti Idul Fitri di Riau. Namun, pada masa penjajahan Belanda, acara ini juga digunakan untuk memperingati hari jadi Ratu Wilhelmina setiap tanggal 31 Agustus.

Ternyata, tradisi yang diwariskan secara turun-temurun ini memiliki makna dan filosofi mendalam. Mulai dari pembuatan perahu hingga gerakan yang dilakukan oleh penari dalam Pacu Jalur, semuanya memiliki artin tersendiri. Yang menarik, proses pembuatan jalur tidak bisa dilakukan sembarangan. Sebelum masyarakat mengambil kayu besar, mereka melakukan ritual sebagai tanda penghormatan dan permohonan izin kepada hutan belantara.

Setiap jalur mampu menampung sekitar 50-60 orang (anak pacu), dan setiap orang di perahu memiliki peran masing-masing. Mulai dari Tukang Concang (komandan atau pemberi aba-aba), Tukang Pinggang (juru mudi), Tukang Onjai (yang memberi irama dengan cara menggoyangkan tubuh), hingga Tukang Tari atau Anak Coki yang berada di bagian depan perahu.

Yang menarik, posisi Anak Coki hampir selalu diisi oleh anak-anak karena mereka memiliki berat badan yang lebih ringan. Dengan demikian, perahu dapat melaju dengan lebih lincah. Gerakan yang dilakukan Anak Coki juga memiliki makna khusus. Mereka menari di depan jalur jika perahu yang mereka tumpangi berada di posisi unggul. Setelah mencapai garis finish, Anak Coki langsung bersujud syukur di ujung perahu.

Tim Pusat Studi ASEAN Universitas Riau

Prima Wahyudi | Risky Antonio Pauji

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *